UU TPKS Belum Cukup, Indonesia Harus Ratifikasi Konvensi ILO 190.



SIARAN PERS:

UU TPKS BELUM CUKUP, INDONESIA HARUS RATIFIKASI KONVENSI ILO 190 ATASI KEKERASAN EKONOMI DI DUNIA KERJA.

Pada momentum peringatan Hari HAM Sedunia Ke-76 yang jatuh pada 10 Desember 2024, Jaringan Advokasi Konvensi ILO 190 (JAK KILO 190) mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi International Labour Organization 190 (Konvensi ILO 190) tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Desakan ini datang berdasarkan beberapa alasan.

Pertama, undang-undang yang ada saat ini belum secara penuh melindungi semua pekerja/buruh dari pelbagai bentuk pelecehan dan kekerasan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah secara komprehensif mengatur perlindungan bagi seluruh masyarakat terhadap kekerasan seksual. Namun, UU TPKS belum mengakomodir kekerasan lainnya yang terjadi di dunia kerja, seperti psikologis dan ekonomi.

Kasus kekerasan dan pelecehan seksual masih terjadi di tempat kerja. Sebagian besar korban merupakan pekerja perempuan di berbagai sektor: pekerja rumah tangga, pekerja kreatif, pekerja migran, pekerja dengan disabilitas dan minoritas seksual, bahkan jurnalis. Dalam satu tahun terakhir, hasil survey Kelayakan Kerja tahun 2024 program Makin Terang menemukan, 1 dari 23 responden (125 dari 2.863) melaporkan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami di tempat kerja mereka.

Kedua, Konvensi ILO 190 mampu mengenali Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG) di dunia kerja. Sebab, konvensi yang disahkan ILO pada 2019 ini menggunakan pendekatan inklusif dan responsif gender. Artinya, regulasi dan pemangku kepentingan harus mempertimbangkan dan melaksanakan langkah-langkah untuk mengatasi masalah yang dialami oleh kelompok rentan termasuk perempuan dan anak-anak perempuan.  

Berbagai kekerasan ekonomi berbasis gender yang dialami di dunia kerja lebih berdampak pada perempuan. Fenomena pungutan liar untuk bekerja di pabrik tekstil hingga diskriminasi pekerja di sektor perkapalan dengan status HIV.

"Banyak buruh perempuan yang terpaksa berhutang ke bank emok atau suaminya, hanya untuk bisa bekerja di sebuah pabrik tekstil. Mereka dipatok untuk membayar uang perekrutan yang berkisar 5-30 juta. Sejak awal buruh telah mengalami kekerasan ekonomi, bahkan sebelum ia bekerja”, ujar Ita Purnama dari Marsinah.id.

Nadya, buruh yang tergabung dalam serikat buruh Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), mengatakan, bahwa masih ada diskriminiasi mengenai syarat kelayakan kerja untuk pelaut Indonesia, lewat tes Kesehatan bagi pekerja dengan status HIV.

“Mereka yang mengidap HIV oleh aturan kelayakan kerja, dilarang untuk bekerja di perkapalan. Diskriminasi ini berdampak tidak hanya pada hilangnya mata pencaharian hidup, tetapi juga menarik anggota keluarga lainnya yang tergantung hisup pada seseorang tersebut ke dalam kondisi kemiskinan,” tegasnya.

Emilia Yanti, Sekjen Gabungan Serikat Pekerja Buruh Indonesia (GSBI), mengungkap, Pemerintah Indonesia membutuhkan meratifikasi KOnvensi ILO, khususnya untuk menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan ekonomi, psikologi, fisik, dan bentuk KPBG serupa terhadap pekerja dan dalam proses rekrutmen kerja.

Konvensi ILO 190 karenanya mampu melindungi cakupan pekerja yang lebih luas; baik dalam sektor public atau swasta, dalam jenis pekerja ekonomi formal maupun informal, di wilayah perkotaan maupun pedesaan, termasuk pekerja magang, pekerja yang di-PHK, hingga pencari dan pelamar kerja.

Dinamika pasar kerja saat ini pun membuat ranah kekerasan tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga di dunia kerja. Seorang pekerja bisa saja dimaki di luar jam kerja dan di luar tempat kerjanya oleh atasan karena tidak memenuhi target.

“Pekerja retail jika tidak memenuhi target atau dianggap kurang merapikan toko bisa dimaki atasan di grup whatsapp. Itu bikin tekanan mental”, jelas Zaenal Rusli, Sekretaris Umum Federasi Serikat Buruh Karya Utama – Konfederasi Serikat Nasional (FSBKU-KSN). Di dalam Konvensi ILO 190, dunia kerja tidak hanya didefinisikan sebatas pada tempat kerja semata, tetapi mencakup proses kerja: dalam pelaksanaan, terkait dengan , atau muncul dari pekerjaan, termasuk:

  • Di tempat kerja saat pekerja menerima upah, beristirahat, makan, serta menggunakan fasilitas sanitasi, kebersihan, ruang pencucian dan ganti pakaian;
  • Selama perjalanan dinas, pelatihan, acara, atau aktivitas sosial terkait pekerjaan, serta saat perjalanan menuju dan dari tempat kerja ke kediamannya;
  • Melalui komunikasi terkait pekerjaan, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pekerjaan;
  • Di akomodasi yang disediakan pemberi kerja.

Kelima, Konvensi ILO 190 diperlukan agar terdapat regulasi yang secara khusus memberi perlindungan terhadap seluruh pekerja atau buruh tanpa memandang status kerja, gender, kondisi fisik, mental, etnisitas, dan  riwayat penyakit, serta identitas sosial lainnya.

Dengan meratifikasi Konvensi ILO 190, berarti Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen serius dalam melaksanakan tanggung jawab negara untuk memberikan jaminan perlindungan semua pekerja dari kekerasan dan pelecehan, serta mendorong perubahan peraturan ketenagakerjaa yang aman dan inklusif.

Jakarta, 9 Desember 2024.  


#RatifikasiKILO190 

#StopKekerasanDitempatKerja










Posting Komentar

© 2013 - 2021 Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Developed by Jago Desain