Dalam beberapa tahun terakhir, konsep “pelecehan seksual quid pro quo” telah menjadi pusat penjelasan mengenai pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. Secara khusus, penggunaan istilah tersebut oleh ILO – serta Global Unions– menjadikan “pelecehan seksual quid pro quo” sebagai bagian integral dari pemahaman kita tentang kekerasan berbasis gender di dunia kerja.
Hal serupa juga berlaku ketika menjelaskan Konvensi ILO No.190 (Konvensi mengenai penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja), meskipun konvensi tersebut tidak merujuk pada istilah ini. Panduan ILO untuk C190 menjelaskan bahwa ada dua unsur pelecehan seksual: quid pro quo dan lingkungan kerja yang tidak bersahabat.
Definisi ini berdasarkan General Observation of the ILO Committee of Experts on the Application of Conventions (CEACR) tahun 2002 tentang Konvensi No.111 Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Asal mula “pelecehan seksual quid pro quo” dalam undang-undang AS juga berkaitan dengan diskriminasi berbasis gender dan kita akan membahasnya nanti.
Penggunaan “pelecehan seksual quid pro quo” yang meluas dan tidak kritis menimbulkan pertanyaan apakah hal tersebut secara akurat menggambarkan apa yang dihadapi pekerja perempuan dan bagaimana hal tersebut membingkai tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan.
Realitanya adalah perempuan dengan kontrak kerja yang tidak terjamin lebih rentan terhadap pelecehan dan penganiayaan seksual ketika laki-laki memutuskan apakah mereka akan dipekerjakan, apakah kontrak mereka akan diperbarui, berapa banyak pekerjaan yang mereka terima, mendapatkan peran atau posisi sebagai apa, bagaimana penilaian kinerja mereka, dan pada akhirnya adalah seberapa banyak pendapatan mereka dan untuk berapa lama (masa kerja mereka).
Baru-baru ini di sebuah perusahaan global terkemuka yang beroperasi di Asia Tenggara, direktur SDM perusahaan tersebut menggunakan wewenang tunggal dan eksklusifnya untuk memutuskan rekrutmen, pembaruan kontrak, dan pengangkatan tetap pekerja perempuan. Dia kemudian melakukan pelecehan seksual dan pelecehan fisik terhadap 35 wanita selama lima tahun. Dalam kasus lain – di sebuah perusahaan minuman transnasional di Filipina dan baru-baru ini sebuah perusahaan makanan ringan transnasional di Pakistan – kontraktor tenaga kerja laki-laki dan supervisor laki-laki mereka memaksa pekerja kontrak perempuan untuk melakukan hubungan seks sebagai imbalan karena telah mempekerjakan mereka, dan ketika mereka sudah bekerja, mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seks untuk mendapat hari kerja tambahan.
Untuk memahami bagaimana dan mengapa hal ini terjadi (dan untuk mencegah hal ini terjadi), perlu ada pemahaman yang lebih jelas tentang mengapa perempuan yang berada dalam pekerjaan tidak tetap (pekerjaan yang tidak aman/kontrak) menghadapi risiko pelecehan dan penganiayaan seksual yang jauh lebih besar. Laki-laki yang mempunyai wewenang (atau yang mengaku mempunyai wewenang) mengeksploitasi kerentanan ekonomi perempuan dan kerentanan sosial mereka (dalam hal status pekerjaan).
Istilah Quid pro quo (“ini untuk itu”) mengacu pada pertukaran imbalan atas sesuatu dan paling umum dipahami sebagai pertukaran bantuan (saya bantu kamu, kamu bantu saya). Ketidakseimbangan yang luar biasa dalam kekuasaan (otoritas laki-laki yang tidak terkendali) dan kerentanan pekerja perempuan (ekonomi dan sosial) mendasari pelecehan dan kekerasan seksual. Ini bukan pertukaran. Ini bukan sebuah bantuan. Selain itu, quid pro quo mengasumsikan adanya kesepakatan implisit yang pada gilirannya menyiratkan persetujuan. Hal ini sangat tidak dapat diterima mengingat kenyataan yang terjadi dan yang kita hadapi.
Seorang pekerja kontrak perempuan meminta tambahan 12 hari kerja agar ia berhak mendapatkan tunjangan wajib. Supervisor kontraktor dengan bantuan pemimpin serikat pekerja mengatakan ikutlah dengan saya dan kita akan mendiskusikannya. Mereka memaksanya berhubungan seks dengan mereka lalu meninggalkan dia begitu saja di dekat rumahnya. Dia melapor untuk bekerja keesokan harinya. Manajemen perusahaan transnasional tersebut meremehkan upaya beraninya untuk mengajukan tuntutan pemerkosaan karena mereka yakin dia sengaja mencari kesempatan ini dan terjadilah pertukaran. Satu-satunya tindakan ketidakpatuhan (bukan kejahatan) adalah bahwa supervisor kontraktor dan pemimpin serikat pekerja menyalahgunakan wewenang mereka dan seharusnya tidak menawarkan imbalan. Transparansi yang lebih besar dan pelatihan penyegaran mengenai pelecehan seksual adalah hal yang diperlukan.
Meremehkan eksploitasi terhadap kerentanan dan pemerkosaan yang dialami pekerja kontrak perempuan didukung oleh penggunaan “pelecehan seksual quid pro quo” yang dilakukan ILO. Menurut konsep ini, pelanggaran yang terjadi adalah pelecehan seksual karena diskriminasi berbasis gender. Rupanya para laki-laki tersebut melakukan diskriminasi terhadap pekerja kontrak perempuan dengan alasan bahwa ia adalah perempuan. Namun, konsep tersebut telah mengalami transformasi lainnya (tidak lagi membahas diskriminasi terhadap perempuan) karena cakupan C190 yang lebih luas mencakup laki-laki dan perempuan:
Yang hilang adalah rasa putus asa atas kondisi ekonomi yang berasal dari ketidakamanan pekerjaan atau pekerjaan tidak tetap yang dialami perempuan, dan eksploitasi yang disengaja atas kerentanan mereka oleh laki-laki atau laki-laki yang dapat memutuskan apakah kondisi ketidakamanan pekerjaan tersebut bertambah atau berkurang. Ini adalah pemaksaan.
Konsekuensi yang dapat diprediksi jika kita tidak menyetujui pemaksaan ini adalah sumber kekhawatiran yang terus-menerus, ditambah dengan kecemasan dan ketidakamanan yang berasal dari kerentanan ekonomi, sosial, dan dalam banyak kasus, kerentanan fisik. Kecemasan yang dialami perempuan dalam pekerjaan yang tidak aman meningkatkan kekuasaan laki-laki yang memegang otoritas dan menjadi bagian integral dari efektivitas pemaksaan ini. Namun kerentanan ekonomi perempuan membuat mereka tidak bisa melepaskan diri dari paksaan ini. Ini adalah lingkaran setan – bukan pertukaran bantuan.
Dalam kasus Direktur SDM sebuah perusahaan transnasional yang mengeksploitasi 35 perempuan, ia membawa perempuan muda (di bawah otoritasnya dan dengan kontrak jangka waktu tertentu yang hanya dapat diperpanjang olehnya) ke asramanya dan melakukan pelecehan seksual dan dalam beberapa kasus melakukan kekerasan seksual terhadap mereka. Bagaimana bisa pemaksaan ini disebut quid pro quo? Kita perlu melihat pemaksaan ini dalam pemahaman kita tentang pelecehan seksual. Bukan pertukaran bantuan.
Implikasi yang paling meresahkan dari istilah “pelecehan seksual quid pro quo” adalah gagasan implisit tentang persetujuan. Pertukaran (“ini untuk itu”) menyiratkan bahwa Si Perempuan (korban pelecehan) sadar akan apa yang dia lakukan dan secara default bertanggung jawab atas konsekuensinya. Pandangan umum di kalangan perempuan yang memegang otoritas (manajer dan supervisor) dan bahkan rekan kerja perempuan lainnya adalah bahwa mereka (korban) tahu apa yang akan mereka hadapi. Hal ini mempunyai implikasi yang serius tidak hanya terhadap kerentanan perempuan (pengisolasian dalam suatu lingkungan mulai dari kurangnya dukungan hingga cemoohan dan permusuhan) namun juga terhadap solusi yang dirasakan. Jika pendekatan “pelecehan seksual quid pro quo” melanggengkan mitos persetujuan, maka menempatkan lebih banyak perempuan pada posisi yang berwenang mungkin tidak mengurangi kerentanan perempuan. Hal ini juga tidak mengurangi kerentanan ekonomi perempuan akibat pengaturan pekerjaan tidak tetap (pekerjaan yang tidak aman/kontrak).
Istilah “pelecehan seksual quid pro quo” pertama kali digunakan dalam kasus hukum AS yang diajukan pada tahun 1976 oleh Diane Williams yang dipecat dari pekerjaannya di Departemen Kehakiman AS setelah mengajukan pengaduan terhadap atasannya. Pengadilan memutuskan bahwa Williams menjadi sasaran “pelecehan seksual quid pro quo”. Namun yang menjadikan tindakan pemberi kerja menjadi ilegal adalah karena tindakan tersebut didasarkan pada diskriminasi jenis kelamin: hanya perempuan yang merupakan objek dalam menerima rayuan seksual, sehingga menciptakan hambatan buatan dalam mendapatkan pekerjaan bagi salah satu gender, namun tidak bagi gender lainnya. Diskriminasi ini ditetapkan melanggar Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964.
Hal ini menjadi preseden bagi kasus lain yang kalah pada tahun 1974, dan dimenangkan pada tingkat banding pada tahun 1977. Paulette Barnes adalah pegawai penggajian yang bekerja untuk Badan Perlindungan Lingkungan AS (US Environmental Protection Agency). Dia kehilangan pekerjaannya setelah menolak berhubungan seks dengan supervisor laki-laki. Ketika Barnes memenangkan bandingnya pada tahun 1977, pengadilan memutuskan bahwa kasus tersebut merupakan diskriminasi jenis kelamin jika seorang perempuan menderita kerugian atas pekerjaan yang nyata (misalnya kehilangan pekerjaan/dipecat) karena menolak memenuhi permintaan yang bersifat seksual. Sekali lagi, diskriminasi ini melanggar Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964.
Ketika perempuan seperti Williams dan Barnes kehilangan pekerjaan karena menolak berhubungan seks dengan atasannya, mereka menolak quid pro quo dan ini menjadi isu diskriminasi karena hal ini tidak akan terjadi jika mereka laki-laki. Konsekuensi logis dari pemikiran tersebut adalah perempuan bisa menolak dan dihukum atau menerima dan dieksploitasi secara seksual. Keduanya merupakan pelecehan seksual namun ada rasa persetujuan yang tersirat – sebuah pertukaran dengan hasil yang diharapkan. Inilah sebabnya mengapa laki-laki lebih memilih istilah “pelecehan seksual quid pro quo”. Hal ini salah karena merupakan penyalahgunaan wewenang, namun dilakukan berdasarkan persetujuan implisit dimana perempuan tersebut mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan, lulus masa percobaan, memperbarui kontrak atau mendapatkan promosi. Kekerasan dan pemaksaan yang mendasari semua situasi di mana kerentanan ekonomi dan sosial perempuan dieksploitasi dikaburkan oleh gagasan pertukaran – sebuah transaksi.
Apa yang benar-benar hilang dalam 47 tahun sejak Williams vs. Saxbe (1976) dan Barnes vs. Costle (1977), adalah bahwa satu-satunya cara untuk memenangkan kasus hukum pada saat itu adalah dengan membuktikan bahwa kasus tersebut melanggar Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964. Dan satu-satunya cara untuk melakukan hal tersebut adalah dengan membuktikan bahwa hal tersebut merupakan diskriminasi jenis kelamin (diskriminasi berbasis gender). Alih-alih mengembangkan undang-undang dan peraturan yang lebih kuat untuk mengkriminalisasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan laki-laki terhadap pekerja perempuan dan menjadikan pelecehan seksual sebagai kejahatan, kita sekarang melihat argumen hukum yang dikompromikan dari lima dekade lalu digunakan di tingkat global.
Yang juga hilang adalah Diane Williams dan Paulette Barnes adalah perempuan Afrika-Amerika. Dalam gagasan “pelecehan seksual quid pro quo” ini tidak ada ruang untuk membicarakan fakta bahwa rasisme yang sistemik dan terlembaga mendasari kerentanan mereka dan kekuatan koersif laki-laki.
Dr Muhammad Hidayat Greenfield, Sekretaris Regional IUF Asia/Pacific
Sumber :