Sejak diundangkannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang penuh kontroversi, karena tidak melibatkan publik pada saat pembuatan draft RUU Cipta kerja, mengakibatkan banyak dari kalangan masyarakat yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan kemudian oleh Mahkamah Konstitusi, UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Dalam perjalanannya, UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, akhirnya dinyatakan tidak berlaku atau dihapus dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja dan kemudian ditetapkan menjadi UU dengan diterbitkannya UU No.6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disingkat menjadi UUCK).
Dengan diberlakukannya UUCK ini, maka pekerja atau buruh atau karyawan atau pegawai swasta, dan pengusaha, harus menyesuaikan, mematuhi dan melaksanakan aturan ketenagakerjaan ini.
Meskipun disebut sebagai undang-undang, faktanya UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja pada dasarnya hanya mengubah saja beberapa pasal yang ada di UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disingkat menjadi UUK), tentu saja kata “mengubah” harus diartikan sebagai menambah atau menyisipkan, atau menghapus pasal atau ayat yang lama menjadi pasal atau ayat yang baru.
Perubahan beberapa pasal dan atau ayat yang ada di UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dituangkan dalam UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, meskipun isinya ada beberapa yang nilainya lebih baik dari UUK, namun secara umum, nilainya secara kualitas maupun kuantitas menjadi menurun, sederhananya UUCK ini “mempermudah PHK, dan mempermurah pesangon” yang menyebabkan adanya penolakan dan demonstrasi besarbesaran oleh kalangan buruh di seluruh Indonesia.
Karena hanya mengubah beberapa pasal saja dari UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka pada dasarnya, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih tetap berlaku, kecuali terhadap pasal-pasal atau ayat-ayat yang dilakukan perubahan yang dituangkan dalam UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Sayangnya, masih banyak kalangan buruh atau serikat buruh yang beranggapan bahwa UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah tidak berlaku lagi seluruhnya, dan yang berlaku sekarang ini adalah UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Pandangan yang salah dalam memahami perubahan ini membuat sebagian pengurus serikat buruh menjadi gamang.
Kegamangan serta anggapan yang salah dari serikat buruh dalam menghadapi perubahan, dalam hal ini dengan diberlakukannya UUCK, kemudian dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha untuk menegosiasikan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan pokok bahasan mengubah pasalpasal di dalam PKB agar disesuaikan dengan aturan yang tertuang dalam UU No. 6 tentang Cipta Kerja.
Anggapan yang salah ini kemudian berlanjut menjadi pemahaman yang salah, dimana banyak serikat buruh yang berpikir bahwa perubahan isi PKB agar sesuai dengan aturan yang ada di dalam UUCK adalah perubahan yang menjadi sebuah keharusan, jadi apapun isi PKB yang tidak sesuai dengan UUCK harus dilakukan perubahan agar sesuai dengan UUCK. Ini adalah anggapan yang salah kaprah.
Pernyataan di atas pada dasarnya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar, tergantung dengan kondisi dari isi PKB yang dibandingkan dengan isi UUCK.
Pernyataan bahwa isi
yang ada di dalam PKB harus menyesuaikan dengan aturan yang tercantum di UUCK
pada dasarnya harus di lihat dari beberapa kondisi yaitu sebagai berikut:
1. Kondisi dimana isi PKB, nilainya lebih
rendah dibandingkan dengan aturan yang tertuang didalam UUCK.
Apabila terdapat beberapa pasal atau ayat di dalam
PKB yang ternyata lebih rendah dari UUCK, maka beberapa pasal atau ayat dari
PKB tersebut harus dinyatakan batal demi hukum, sehingga yang berlaku adalah
UUCK untuk pasal atau ayat yang nilainya lebih rendah dari UUCK.
Artinya, perubahan pasal atau ayat didalam PKB
menjadi sesuai dengan isi UUCK adalah
sebuah keharusan apabila isi pasal atau ayat didalam
PKB, nilaiya lebih rendah dari
UUCK.
2. Kondisi dimana isi PKB Nilainya lebih baik
dari pada Aturan yang tertuang didalam UUCK.
Apabila isi PKB (baik isi keseluruhan maupun hanya
beberapa pasal atau ayat saja) nilainya lebih baik daripada UUCK, maka yang
berlaku adalah isi PKB tersebut.
Harus dipahami, bahwa aturan yang terdapat didalam
UUCK atau aturan lainnya yang dibuat oleh negara, dalam konteks
ketenagakerjaan, UUCK adalah aturan yang paling rendah atau aturan minimum yang
harus dilaksanakan oleh pekerja dan pengusaha.
Harus dipahami pula bahwa dalam melakukan negosiasi
PKB, serikat buruh adalah pihak yang melakukan perjanjian atau kesepakatan
dengan pihak pengusaha.
Bahwa didalam hukum perjanjian, kesepakatan yang
dibuat oleh para pihak yang berperjanjian adalah menjadi undang-undang bagi
para pihak yang menyepakatinya.
Hukum perjanjian juga mengatur bahwa perjanjian yang
sudah disepakati oleh kedua belah pihak, tidak dapat diubah, kecuali para pihak
menyepakati untuk dilakukan perubahan.
Oleh karena itu, ketika serikat buruh sudah
menyepakati dengan pihak pengusaha akan satu hal, misalnya PKB atau PB
(Perjanjian Bersama) maka PKB atau PB tersebut menjadi undang-undang bagi para
pihak yang menyepakatinya, yaitu Serikat buruh dan Pengusaha. Artinya, ketika
kesepakatan tersebut (PB atau PKB) nilanya lebih baik (secara kualitas maupun
kuantitas) dari UU atau dalam hal ini adalah UUCK, maka yang berlaku adalah PB
atau PKB.
Artinya pula, pada dasarnya Serikat Buruh adalah
satu-satunya organisasi pekerja yang dapat membuat perjanjian kerja yang
nilainya lebih baik daripada aturan yang dibuat oleh negara, dalam hal ini
UUCK, yang merupakan aturan yang nilainya paling rendah yang harus dipatuhi
oleh pengusaha.
Dengan demikian, dengan menggunakan batasan-batasan
hukum seperti di atas, maka isi PKB yang nilainya lebih baik dibandingkan
dengan isi UUCK, maka serikat buruh seharusnya dapat mempertahankan isi PKB
tersebut meskipun pihak pengusaha meminta agar dilakukan perubahan agar sesuai
dengan isi dari UUCK, kecuali serikat buruh menyetujui untuk dilakukan
perubahan atas PKB tersebut.
Tidak hanya mempertahankan nila-nilai PKB yang lebih
baik dari undang-undang atau aturan yang dibuat oleh negara, PKB adalah menjadi
kesempatan bagi serikat buruh untuk bisa membuat nilai-nilai yang ada didalam
PKB menjadi lebih baik dibandingkan dengan nilai-nilai yang tercantum didalam
UUCK, dan ketika lebih baik dari UUCK atau aturan lain yang dibuat oleh negara,
maka serikat buruh atau para buruh tidak perlu khawatir apabila nantinya ada UU
yang baru yang nilainya lebih buruk dari UUCK, karena nilai-nilai yang ada di
PKB tidak boleh dihapus atau dilakukan perubahan apabila kedua belah pihak
tidak sepakat untuk melakukan perubahan.
Menjadi aneh rasanya apabila ada serikat buruh yang
menyetujui dilakukan perubahan agar sesuai dengan aturan yang ada didalam UUCK,
dimana aturan di UUCK tersebut nilainya lebih buruk dari PKB.
3. Kondisi dimana isi UUCK tidak ada di PKB.
Apabila isi di dalam UUCK tidak terdapat didalam PKB,
maka UUCK akan berlaku.
Bahwa ketika negara membuat sebuah aturan, baik itu
berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, Keputusan Menteri, Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur atau
Peraturan Daerah, maka pada dasarnya, kita sebagai warga negara harus mematuhi
dan melaksanakannya.
Artinya, ketika sebuah aturan sudah ditetapkan oleh
negara, maka setiap warga negara tanpa terkecuali, harus mematuhi dan
melaksanakannya, tidak ada alasan untuk tidak melaksanakannya, misalnya saja,
kita beralasan kita tidak tahu, atau kita tidak pernah membaca, atau kita tidak
pernah mendapatkan sosialisasi tentang aturan negara tersebut sebelumnya.
Dalam konteks ketenagakerjaan, UUCK yang sudah
ditetapkan sebagai aturan negara pada bulan Maret 2023, adalah aturan yang
mengikat bagi setiap pekerja maupun pengusaha, tanpa terkecuali.
Oleh karena itu, ketika terjadi kondisi dimana isi
UUCK ternyata tidak tercantum didalam PKB, maka pada dasarnya isi UUCK tersebut
akan tetap berlaku, meskipun PKB tidak mengaturnya.
Namun demikian, meskipun UUCK tetap berlaku walaupun
tidak tercantum didalam PKB, namun
kondisi ini lebih baik (kondisi isi UUCK tidak masuk didalam PKB) ketimbang
serikat buruh menyetujui isi UUCK disepakati untuk dituangkan dalam PKB.
Di sisi lain, ada hal yang harus diperhatikan dan
digaris bawahi, yaitu ada kondisi dimana kita harus memasukkan isi yang ada
dalam UUCK kedalam isi PKB, ketika kondisi isi yang ada didalam UUCK mengatur
hal yang baru dan secara kualitas maupun kuantitas nilanya lebih baik, dengan
syarat tidak mencantumkan pasal atau ayat atau dari UUCK.
Harus dibedakan dengan kondisi dimana isi PKB
ternyata lebih baik (secara kualitas maupun kuantitas) dari UUCK, maka yang
berlaku adalah isi PKB yang lebih baik nilainya itu tadi, dan tidak bisa diubah
menjadi sesuai dengan UUCK, kecuali para pihak sepakat untuk dilakukan
perubahan.
4. Kondisi dimana isi PKB tidak ada di UUCK.
Apabila isi PKB ternyata tidak diatur didalam UUCK,
maka isi PKB akan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan maupun norma hukum lainnya.
Bahwa PKB adalah kesepakatan kedua belah pihak,
serikat buruh dan pengusaha. Tentu saja seharusnya kesepakatan itu nilainya
lebih baik dibandingkan UUCK.
Mengapa isi PKB harus lebih baik dari UUCK atau
aturan negara lainnya?
Logika sederhananya, apabila isi PKB sama dengan isi
dari UUCK atau aturan negara lainnya, buat apa susah-susah menegosiasikan PKB,
toh isi PKB sudah sesuai dengan UUCK atau aturan negara lainnya.
Artinya, isi PKB seharusnya nilainya lebih baik
dibandingkan dengan isi UUCK, karena itu esensi dari sebuah perundingan PKB,
memperbaiki kondisi kerja dan memperjuangkan peningkatan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.
Oleh karena itu, apabila Serikat Pekerja/ Buruh sedang melakukan negosiasi PKB, maka harus dipastikan bahwa aturan atau isi PKB tersebut harus sedetail mungkin, tidak ada kalimat yang bersayap, atau kalimat yang membuat terjadinya multi tafsir, oleh karena itu setidaknya tidak boleh lagi menggunakan kata-kata atau kalimat didalam PKB seperti di bawah ini:
- Perhitungan pesangon pensiun bagi pekerja yang
memasuki usia pensiun normal adalah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kalimat di atas, tidak boleh lagi ada didalam PKB.
Seringkali, ketika sedang dilakukan negosiasi PKB, salah satu atau kedua belah
pihak mengusulkan dan kemudian menyetujui penggunaan kalimat “sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”, dengan alasan yang bermacam-macam, baik itu alasannya untuk
mempersingkat waktu negosiasi, atau agar kalimatnya tidak terlaku kaku, atau
agar ketika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan maka tidak perlu
menggantinya karena kalimat “sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah kalimat yang
universal dan fleksibel, atau alasan-alasan lainnya.
Namun demikian, penggunaan kalimat “sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku” justru membuat isi didalam PKB menjadi lemah, setidaknya
terdapat 2 kelemahan:
1. Tidak jelas peraturan perundangan-undangan mana
yang dimaksud, sehingga membuat pekerja/ buruh yang membacanya, tidak
mengetahui acuan atau dasar hukum yang digunakan sebagai landasan untuk
mengeksekusi aturan yang dalam pasal atau ayat tersebut, dalam konteks
perhitungan pesangon bagi pekerja yang memasuki usia pensiun, tidak diketahui
aturan mana yang digunakan, disamping peraturan yang dibuat negara juga
mengalami perubahan (pasal atau ayat di UUK menjadi pasal atau ayat di UUCK).
2. Tidak jelas dalam hal implementasi di lapangan
(di tempat kerja), sehingga membuat pekerja/ buruh yang membacanya, tidak tahu
aturan detailnya seperti apa, dalam konteks perhitungan pesangon bagi pekerja
yang memasuki usia pensiun normal, pekerja tidak tahu bagaimana perhitungannya,
karena perhitungannya tidak dicantumkan didalam PKB.
- Perhitungan pesangon pensiun bagi pekerja yang
memasuki usia pensiun normal adalah
sesuai dengan aturan yang tercantum di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kalimat tersebut di atas juga tidak boleh ada lagi di
dalam isi PKB. Pelaku hubungan industrial terutama pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/ serikat buruh, tidak pernah menyangka bahwa UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan akan dilakukan perubahan. Pun menyangka dilakukan
perubahan, kalangan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh tidak
pernah menyangka bahwa perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang buruk,
karena sebagian besar perubahan UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
yang diatur dalam UUCK, yang terjadi adalah perubahan menjadi lebih buruk.
Oleh karena itu, hindari penggunaan kalimat “sesuai dengan aturan yang tercantum di
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”, atau penggunaan kalimat
sejenis yaitu dengan mencantumkan nama aturan, nomor dan tahun dikeluarkannya
aturan negara, karena ketika terjadi perubahan seperti yang sekarang ini
terjadi, dan perubahan itu adalah menghapus aturan yang lama, dan aturan yang
baru atau perubahannya ternyata menjadi lebih buruk, maka aturan yang digunakan
adalah aturan terbaru dan lebih buruk itu tadi.
- Perhitungan pesangon pensiun bagi pekerja yang
memasuki usia pensiun normal adalah
sesuai dengan aturan yang tercantum dalam pasal 156 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kalimat tersebut di atas, tidak boleh lagi ada di
dalam PKB, karena ketika kemudian terjadi perselisihan atau terjadi perubahan
aturan negara, seperti misalnya sekarang ini dimana perhitungan pensiun normal
mengacu kepada pasal 156 ayat (2), (3), dan (4) dari UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, sedangkan aturan didalam UUCK ternyata menghapus pasal
156 ayat (2), (3), dan (4) dari UU No. 13 tahun 2003 tersebut di atas, maka
konsekwensi hukumnya adalah aturan pesangon bagi pekerja yang memasuki usia
pensiun normal harus sesuai dengan UUCK, dimana nilainya lebih rendah dari UU
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebagai gantinya, maka kalimat tersebut di atas harus dibuat dengan kata-kata atau kalimat semisal sebagai berikut:
Pasal
75
Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang memasuki usia
pensiun normal di usia 55 tahun dengan mendapatkan pesangon pensiun sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan Uang Penghargaan Masa Kerja 1 (satu)
kali ketetuan Pasal 80 ayat (2), dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan
Pasal 80 ayat (3) dalam PKB ini.
Pasal
80
Uang
Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dan Uang Pisah
(1) Besarnya Uang Pesangon ditetapkan sebagai
berikut :
a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1
(satu) bulan upah;
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. Masa
kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun tetapi kurang
dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.
Masa
kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(2) Besarnya Uang Penghargaan Masa Kerja
ditetapkan sebagai berikut :
a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah:
f. Masa
kerja 18 (delapan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21(dua puluh satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau
lebih, 10 (sepuluh)bulan upah.
(3) Yang dimaksud Uang Penggantian Hak adalah:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum
gugur.
b. Cuti besar yang belum diambil dan belum
gugur.
c. Biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja atau
keluarganya ketempat dimana Pekerja diterima bekerja.
d. Penggantian pengobatan dan perawatan
ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen) dari Uang Pesangon dan Uang
Penghargaan Masa Kerja bagi yang memenuhi syarat.
(4) Besarnya Uang Pisah bagi yang memenuhi
syarat ditentukan sebagai berikut:
a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 9 (sembilan) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih, 3
(tiga) bulan upah.
Apabila kita melihat
contoh pasal dan ayat PKB tentang ketentuan dan perhitungan pesangon pensiun
normal di atas, maka tidak terdapat kalimat :
- sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- sesuai dengan aturan yang tercantum di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- sesuai dengan aturan yang tercantum dalam pasal 156 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Isi PKB di atas pada dasarnya menyadur dari isi pasal 156 ayat (2), (3), dan (4) dari UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun hanya diambil isinya saja, sedangkan pasal maupun UU yang mengaturnya tidak dicantumkan.
Dengan demikian, isi PKB di atas akan tetap berlaku meskipun terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang nilainya lebih rendah dari PKB, dan apabila terjadi perubahan peaturan perundang-undangan yang nilainya lebih baik dari isi PKB, maka otomatis yang berlaku adalah isi perundang-undangan yang baru.
Tinggal sekarang
bagaimana serikat buruh bisa memahami perubahan perundang-undangan dengan baik
agar tidak gamang dan beranggapan yang salah yang pada akhirnya dapat membuat
kondisi kerja menjadi tidak baik dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya
menjadi menurun.