Oleh: Sumarno | Sekretaris
Umum SPM PT. Sarimelati Kencana Tbk – Pizza Hut
Kita seringkali mendengar
istilah subsidi dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kita juga sering menemui
istilah subsidi dalam tulisan-tulisan dimedia cetak, media sosial, dan
lainnya. Subsidi itu sendiri sering kita
artikan dengan maksud membantu yang kekurangan, dan hal ini biasanya dilakukan
oleh mereka yang berkecukupan atau berkemampuan.
Akan tetapi bagaimana
bila subsidi ini dilakukan oleh kaum yang miskin terhadap kaum yang kaya? Hal
inilah yang menjadi suatu pemahaman terbalik yang terjadi di dunia kerja saya.
Si miskin dalam hal ini saya artikan pekerja kecil yang ada di perusahaan saya.
Sedangkan si kaya dalam hal ini manajemen yang mewakili pengusaha dan pengusaha
itu sendiri.
Si miskin dalam
mensubsidi si kaya di perusahaan saya diantaranya berupa upah lembur pada public holiday yang tidak dibayarkan
pengusaha kepada pekerja golongan 5A dan 5B atau yang sering dikenal dengan restoran
manager dan assisten manager. Seperti yang kita ketahui dalam
Keputusan Menteri nomor 102 tahun 2004 tentang Waktu kerja dan upah kerja
lembur, di mana ada satu pasal yang mengatakan setiap pekerja yang masih
dibatasi waktu kerja berhak untuk mendapatkan upah lembur, akan tetapi golongan
5A dan 5B yang bekerja pada public
holiday tidak dibayarkan upah lemburnya dan hanya di ganti libur pengganti
selama satu hari, menyedihkan bukan?
Akibat tidak dibayarnya holiday pay tersebut si kaum miskin
mengalami kerugian 14 jam dalam 1 harinya yang tidak di bayarkan oleh kaum yang
katanya si kaya. Dalam satu tahun ada 15 public
holiday dan itu berarti ada 210 jam yang tidak di bayarkan kaum yang katanya
si kaya itu. Atau kalau kita rupiahkan public
holiday itu bisa berjumlah sebesar RP 4.620.000 dengan rata-rata upah pokok
si miskin dalam golongan tersebut adalah Rp.5.500.000. Bisa kita bayangkan jika
di perusahaan saya ada 225 outlet dan ini berarti ada 450 pekerja kecil atau si
miskin di perusahaan saya, jadi dalam satu tahun si miskin telah mensubsidi si
kaya sebesar Rp 1.039.500.000. Sungguh angka yang luar biasa untuk mensubsidi
si kaya.
Oleh karena
itu untuk menghentikan subsidi dari si miskin untuk si kaya, sekaligus
menghilangkan penderitaan si miskin, tidak ada solusi lain selain si miskin
harus bersatu dalam satu kesatuan berupa serikat pekerja. Karena dengan
bersatunya si miskin dalam serikat pekerja, si miskin bisa melakukan perlawanan
baik dari jalur litigasi ataupun non litgasi. Perlawanan ini memunculkan
harapan besar pada si miskin untuk mendapatkan hak yang selama ini diambil oleh
si kaya yang sering kita istilahkan dengan subsidi dari si miskin untuk si
kaya.
Pada akhirnya
jika perlawanan si miskin berhasil mencapai tujuannya, dalam hal ini di
bayarkan upah lembur pada public holiday,
tentu akan membantu keuangan pekerja si miskin yang berdampak positf pada
sedikit kesejahteraan yang dihasilkan dari perlawanan ini. Dengan kata lain si
miskin berhasil dalam upaya mewujudkan upah layak untuknya.